Kurikulum yang
Diharapkan Membawa Angin Perubahan Terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan
Diskursus mengenai
kurikulum 2013 masih terus berkelanjutan. Pro-kontra seputar hal tersebut
seperti tak kunjung usai, bahkan selalu membuka baru sebuah lembaran. Seperti
contoh kasus di tulisan sebelumnya yang telah dipaparkan. Sebuah dikotomis
antara penentu dengan pemerhati kebijakan. Keduanya sama-sama mengangkat
masalah kurikulum yang sama namun dengan berbeda pandangan.
Problematika akut
kualitas pendidikan
Idealnya, diskursus
kurikulum 2013 ini dipandang sebagai sebuah percobaan. Problematika yang selama
ini melatari keberadaannya, memang tak terlepas dari gonta-gantinya kebijakan.
Sehingga ditengarai secara tak langsung memberi dampak negatif terhadap rendahnya
kualitas pendidikan.
(kegiatan belajar-mengajar di saungelmu mengikuti kurikulum yang diberlakukan namun telah dikondisikan dengan keadaan)
Untuk menangani
problematika akut yang terjadi pada dunia pendidikan, memang perlu dirumuskan
sebuah terobosan. Mungkin saja dengan kurikulum 2013 ini terjadi sebuah
perubahan ke arah yang lebih baik agar terjadi sebuah peningkatan. Sehingga
kualitas pendidikan, yang diukur dari kualitas sumber daya manusia Indonesia,
dapat bersaing di kancah dunia internasional di masa depan.
Kurikulum 2013
diharapkan memberi angin perubahan
Keunggulan, yang
diklaim oleh para pemangku kebijakan, dari kurikulum 2013 ini adalah
dikedepankannya tingkat kereativitasan.[1]
Karena dengan hal tersebut diharapkan, tingkat satuan pendidikan menciptakan
siswa atau sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu bersaing dengan
negara-negara lain di masa depan.
Pentingnya
peningkatan kualitas pendidikan dan atau sumber daya manusia di Indonesia ini
telah menjadi isu yang harus diutamakan. Terlebih jika berkaca dari apa yang
telah dihasilkan pada saat ini oleh dunia pendidikan. Berdasarkan hasil kajian Programme for International Student Assessment (PISA),[2]
ternyata kualitas siswa
Indonesia masih dibawah negara-negara lain yang disebabkan oleh bedanya proses
pembelajaran.
Oleh karena itu dibutuhkannya
sebuah langkah “progresif” untuk mendekonstruksi proses pembelajaran yang
selama ini telah dijalankan. Seperti menurut seorang Staf Khusus Mendikbud Bidang
Komunikasi Media,[3]
inti dari kurikulum 2013 yang bersifat tematik-integratif dan adanya upaya
penyederhanan. Penyederhanan yang dimaksud adalah dalam jumlah mata pelajaran
yang diajarkan pada setiap tingkat satuan pendidikan.
Peran serta masyarakat
dapat membantu peningkatan kualitas pendidikan
Memang isu mengenai
peningkatan kualitas pendidikan menjadi prioritas utama untuk dijalankan.
Pemberlakuan kurikulum 2013 yang telah menjadi sebuah diskursus, mau tidak mau
mesti diimplementasikan. Namun terlepas dari pemberlakuan kurikulum tersebut,
ada hal yang tak kalah utamanya untuk dilakukan yaitu peran serta masyarakat
untuk bersama membantu meningkatkan kualitas pendidikan.
Peran serta tersebut
dapat dilakukan oleh siapapun tanpa pengecualian. Sekalipun masyarakat tersebut
bukanlah berlatar-belakang pendidikan. Namun jauh lebih penting dari itu adalah
rasa kepedulian. Seperti misalkan dengan membuka tempat atau fasilitas belajar
kepada orang lain yang belum tersentuh atau tak memiliki kesempatan mengenyam
pendidikan. Karena dengan cara meningkatkan rasa peduli terhadap sesama tersebut
diharapkan pula kualitas pendidikan di tanah air akan mengalami peningkatan. Dengan
begitu masyarakat Indonesia akan semakin tercerahkan.(fly)
Lihat juga:
http://sampahfly.wordpress.com/2013/02/22/pendidikan-yang-mencerahkan4/
[1] http://sampahfly.wordpress.com/2013/02/22/pendidikan-yang-mencerahkan4/
[2] http://nasional.sindonews.com/read/2013/02/22/18/720547/kurikulum-2013-modal-anak-bangsa-untuk-bersaing
[3] http://nasional.sindonews.com/read/2013/02/22/18/720547/kurikulum-2013-modal-anak-bangsa-untuk-bersaing