Pertikaian antar geng yang mengakibatkan meninggalnya seseorang diantara mereka terjadi pada dini hari minggu kemarin di bilangan Jakarta Selatan. Pertikaian tersebut disinyalir buntut dari perebutan daerah kekuasaan. Dan seperti telah menjadi sebuah kebutuhan bagi mereka akan penguasaan suatu lahan. Walaupun cara penguasaan harus dilalui dengan tindak kekerasan. Yang mengakibatkan jatuhnya beberapa korban. Tetapi tak menjadikan hal itu sebagai sebuah persoalan.
Melihat realita diatas, tampaknya keberadaan “geng” dalam masyarakat menjadi suatu kenyataan yang tak dapat terelakkan. Kerena dinilai telah menjadi suatu kebutuhan bagi segelintir kalangan. Baik itu kebutuhan akan pemenuhan hajat kehidupan. Maupun kebutuhan yang berdasar pada hasrat kekuasaan. Entah itu kekuasaan dalam konteks premanisme jalanan ataupun provesionalisme sang “negarawan”.
Menarik jika mencermati kenyataan yang demikian. Kerena keberadaan atau eksistensi suatu kelompok massa tak mungkin tanpa alasan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, mungkin karena alasan pemenuhan kebutuhan maupun hasrat kekuasaan. Namun itu bukanlah semata alasan untuk bertindak dengan kekerasan.
Walau tak dapat dipungkiri bahwa cara-cara kekerasan telah lumrah menjadi suatu kebiasaan dalam konteks premanisme jalanan. Namun menjadi hal yang tak biasa jika cara-cara kekerasan itu merambah dunia provesionalisme sang negarawan. Apalagi bagi mereka para wakil rakyat yang duduk di gedung dewan. Seperti kejadian waktu itu yang disiarkan langsung oleh media kepada rakyat kebanyakan.
Tingkah-tingkah seperti memang kurang pantas dilakukan oleh para anggota dewan. Namun tak kuasa untuk mereka hindarkan. Lantaran hasrat kekuasaan dalam diri mereka begitu kuat dan belum dapat ditekan. Sehingga berkecamuk dalam diri dan meluap dalam bentuk tindakan yang kurang sopan.
Cara-cara “kekerasan” yang mereka (anggota dewan) tunjukkan, serupa dengan cara penyelesaian ala preman jalanan. Seperti kejadian yang telah dijelaskan. Itu mengindikasikan adanya persamaan diantara preman dengan seorang “negarawan”. Persamaan itu adalah dalam memandang hasrat kekuasaan sebagai suatu kepintingan bahkan kebutuhan. Sehingga perlu adanya suatu tindakan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Persamaan pandangan tersebut yang pada akhirnya memotivasi mereka (preman dan negarawan) untuk berkolaborasi dalam meraih kekuasaan. Jika bagi seorang preman kekuasaan itu cukup dalam bentuk penguasaan suatu daerah atau kawasan. Lain bagi seorang “negarawan” yang memandang kekuasan lebih dari sekedar kawasan. Yaitu memandang kekuasaan dalam konteks pemerintahan maupun kebijakan.
Dengan adanya “kolaborasi” diantara mereka, maka semakin besar kekuatan. Dan semakin banyak peluang untuk memperoleh dan mempertahankan suatu kekuasaan. Sehingga akan menumbuhkan benih-benih sikap otoriter maupun arogan. Dan ketika sikap itu telah mengusai mereka, berbagai tindakan apapun akan dilakukan. Hal demikian yang pada akhirnya melegitimasikan tindakan kekerasan.
Pandangan saling membutuhkan diantara mereka yang kemudian menjadi hal yang sulit dipisahkan. Sehingga untuk memisahkan atau menindak salah satu diantaranya menjadi suatu kesulitan. Terutama bagi para aparat keamanan. Karena untuk menindak seorang atau sekelompok preman (geng) akan membutuhkan suatu kekuatan. Tidak hanya dari segi jumlah pasukan, tetapi juga elektabilitas hubungan.
Melihat keadaan yang demikian, maka menjadi hal rumit bagi pihak keamanan. Apalagi jika mereka memiliki obsesi menjaga ketertiban dengan menindak tegas preman. Tentu akan menjadi suatu tantangan. Karena bukan hanya preman yang harus mereka tindak tegas, namun juga “oknum” yang bermain dibelakang seolah seperti bayangan. Apalagi jika oknum tersebut merupakan seorang “negarawan”, atau bahkan seorang dari mereka yang haus akan kekuasaan.
(sampahfly027/05/04/2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar