Senin, 22 Maret 2010

Ujian nasional yang diselenggarakan di seluruh nusantara kerap menuai berbagai perkara

Hari ini ujian kelulusan digelar secara nasional, baik di kota maupun di desa. Ujian yang diklaim sebagai parameter dari syarat kelulusan seorang siswa. Tampak sering kali menuai berbagai polemik pada tiap tahun penyelenggaraannya. Hal tersebut lantaran kelulusan lebih berdasar pada angka-angka yang tertera. Namun ukuran lain dalam menilai suatu kelulusan tak begitu dipertimbangkan, seperti penilaian budi pekerti para siswa.

Hal tersebut yang sering dikeluhkan oleh berbagai kalangan, terutama mereka para akademisi serta pemerhati pendidikan, seni maupun budaya. Apalagi pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan kearifan yang harus dijaga. Dan dalam kebudayaan itu sendiri mengandung nilai moral mengenai budi pekerti yang harus dimiliki para siswa. Sehingga diharapkan para siswa yang telah dinyatakan lulus tidak hanya memiliki kekayaan intelektual saja. Melainkan pula memiliki kekayaan moral yang akan menumbuhkan kepekaan terhadap sesama dan berbagai fenomena.

• Budi pekerti sebagai syarat kelulusan seorang siswa?

Integritas seorang siswa dapat dinilai dari sikap dan prilaku keseharian di sekolahnya. Hal tersebut yang kemudian sering diajukan oleh para pelaku pendidikan terutama guru dan siswa untuk dijadikan sebagai aspek penilaian terhadap syarat kelulusan mereka. Namun ketika penilaian budi pekerti itu telah menjadi salah satu ukuran dari kelulusan para siswa. Lantas bagaimana mekanisme penilaiannya? Dan apakah dapat dipertanggung-jawabkan validitasnya? Karena budi pekerti bersifat abstrak dan sulit untuk menempatkannya pada angka-angka yang tersedia.

Sebagai analogi; siswa A yang dalam keseharian di sekolah baik, tidak pernah berbuat onar, dan selalu patuh pada gurunya. Kemungkinan siswa A tersebut akan dinilai siswa teladan lantaran berbudi pekerti yang santun, sopan dan sebagainya. Lantas akan diberikan nilai tinggi dalam bentuk huruf ataupun angka. Kemudian bagi siswa B yang dikenal nakal serta pembangkang terhadap gurunya, justru akan dinilai sebaliknya.

Dari kedua contoh tersebut, “angka kelulusan” yang diberikan oleh seorang guru terhadap para siswa tak terlepas dari unsur subjektivitas di dalam penilaiannya. Sehingga mengindikasikan adanya kelemahan dalam segi validitas penilaian terhadap para siswa. Apalagi jika terjadi praktek “jual-beli perkara”. Misalkan; siswa C yang kerap kali berbuat melanggar peraturan sekolah bahkan bertindak diluar prilaku seorang siswa. Kemudian mendapat pengampunan dan kelulusan lantaran siswa C tersebut memberikan sebuah “hadiah” yang berharga.

• Ujian nasional yang menorehkan duka

Kemungkinan diatas bisa saja merupakan sebuah realita. Namun lebih dari itu adalah, kontroversi seputar kelulusan siswa yang kerap kali menorehkan luka. Terutama bagi para siswa yang kurang beruntung lantaran nilai kelulusannya dibawah rata-rata. Dan akhirnya menyisakan tangis kesedihan karena menilai kegagalan dalam dirinya. Lebih tragis lagi jika terjadi depresi oleh siswa karena tak mencapai kelulusan pada ujian negara.

Karena kelulusan menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Sehingga banyak dari mereka yang menghalalkan berbagai cara. Tak lain demi mencapai kelulusan dan tak memalukan nama keluarga. Dan membeli kunci jawaban dari soal-soal yang diujikan merupakan salah satunya.

• Kenaikan standar kelulusan siswa secara otomatis mendongkrak nilai mereka

Polemik tersebut terus bergulir seakan mengawal ujian ketika terselenggara. Sampai hari ini pun setia menghiasi berbagai media. Banyak yang menilai bahwa ujian nasional yang tiap tahunnya mengalami kenaikan standar kelulusan, secara tidak langsung membebani siswa. Namun jika melihat dari sudut pandang yang berbeda. Kenaikan standar kelulusan akan berdampak positif bagi nilai mereka. Karena secara otomatis akan mendongkrak nilai siswa tahun ini lebih tinggi dari sebelumnya. Itu yang kemudian mendistorsi nilai pada kelulusan seorang siswa lantaran hanya dilihat pada angka-angka semata.

Seperti yang telah diuraikan sebebelumnya, permasalahan ini akan selalu menuai sebuah dilema. Jika kelulusan hanya berdasar pada ujian nasional yang diselenggarakan tiap tahunnya dan mengedepankan angka semata. Maka akan menafikan proses belajar-mengajar harian para siswa, yang sesungguhnya mengandung unsur penilaian juga.

Namun jika kelulusan itu kembali diserahkan kepada pihak sekolah yang berada di seluruh nusantara. Hal tersebut juga akan menyisakan pertanyaan mengenai kualitas pendidikan Indonesia. Karena kita akui pula bahwa sumber daya pendidik maupun peserta didik dan juga fasilitas yang ada belumlah merata. Lantaran pembangunan dan kesejahteraan belum tercapai di mana-mana. Itu yang kemudian menjadikan sebuah kendala, yang harus kita selesaikan bersama.

Mungkin nanti pada saatnya, kita akan menemukan formulasi yang tepat dalam perumusan standar nasional untuk menyatakan lulus bagi para siswa Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai potensi yang ada. Mempertimbangkan secara komprehensif agar siswa tak terbebani dengan nilai rata-rata. Dan juga yang lebih penting adalah agar para siswa dapat mengeksplorasi dirinya dan tidak berkutat pada persoalan kelulusan semata. Sehingga semua kalangan dapat merasakan kepuasan terhadap kualitas pendidikan yang ada.

(sampahfly021/23/03/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar