Rabu, 24 Maret 2010

Menjadi sang bintang sejati karena panggilan nurani atau sensasi?

Setelah bola panas century terpendam oleh sebuah rekomendasi. Kini bergulir kembali isu yang tak kalah mengundang beragam opini. Lantaran media saat ini tengah ramai memutar sebuah drama aksi. Yaitu, “perang bintang” yang terjadi dalam tubuh Polri.

Sebagai salah satu institusi negeri, Polri sedang menjadi pusat perhatian publik akhir-akhir ini. Setalah selesainya episode “cicak versus buaya” yang dilakoni polisi. Kini sebuah drama pun sedang dimainkan kembali. Dan masih dengan pemeran utama yang sama, yaitu seorang perwira tinggi Polri yang bernama Susno Duaji. Dia juga yang ketika itu mematenkan istilah “cicak dan buaya” untuk pertama kali.

• Perjalanan karir “sang bintang” yang mumpuni

Sebagai seorang perwira tinggi yang berbakti, Susno Duaji justru tak mendapatkan sebuah kursi. Mungkin menjadi sebuah ironi, namun hal tersebut tak datang dengan sendiri. Berawal dari pemutaran sebuah rekaman percakapan di Mahkamah Konstitusi. Dan kemudian menjadi sebuah kasus hukum yang menyeretnya sebagai saksi. Maka penonaktifan pun diberlakukan kepadanya, demi mementingkan proses hukum yang tengah dijalani.

Padahal jika melihat perjalanan karirnya selama di Polri, keahliannya sangat mumpuni. Dan telah banyak prestasi dan perhargaan yang dia miliki. Baik dari dalam maupun luar negeri. Namun hal tersebut tak lantas menjadi bahan pertimbangan untuk memberikannya sebuah “porsi”.

• Beragam opini; sang bintang yang berani atau karena sakit hati

Ini yang menimbulkan berbagai persepsi dalam kalangan masyarakat saat ini. Karena seorang “bintang” dalam kalangan Polri dinilai sedang bermain api. Lantaran berani membuka aib institusinya sendiri. Padahal akibat dari sikapnya tersebut justru dapat menjerumuskannya ke lubang bui. Dari sikap berani tersebut yang kemudian dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai sikap seorang ksatria sejati.

Namun ada sebagian masyarakat yang berpandangan bahwa sang bintang tengah mengalami sakit hati. Lantaran institusi Polri tidak menerimanya lagi. Sehingga melakukan “pembalasan dendam” dengan melaporkan beberapa juniornya yang diduga terindikasi korupsi.

Untuk membuktikan dugaan tersebut pun harus dengan kuatnya bukti-bukti. Agar laporannya tidak berubah menjadi sebuah boomerang yang dapat menimpanya sendiri. Kemudian menjatuhinya sebuah sanksi, baik berupa hukuman maupun administrasi. Dan mudah-mudahan juga tak semata sebuah sensasi.

Ada pula sebagian masyarakat yang justru menilai kasus ini hanya sebagai pengalihan dari kasus Century. Dan ada sinyalemen untuk memperlambat pengusutan dengan memecah aparat penegak hukum dalam tubuh Polri. Sehingga penyelesaian kasus Century akan terkatung-katung dan tergerus waktu hingga tak menjadi suatu yang pasti.

• Masih banyak isu lain di luar perang bintang dalam tubuh Polri

Namun tak banyak pula masyarakat yang berani berspekulasi, walau sekedar menyatakan sebuah opini. Karena pada dasarnya mereka tak mengerti dengan apa yang terjadi. Yang mereka mengerti justru adalah bagaimana agar ayam hidup tidak dilarang penjualannya oleh Pemda DKI. Terus bagaimana agar banjir tidak menjadikan mereka terus-menerus sebagai pengungsi. Serta bagaimana industri rokok rumah tangga dapat terus beroperasi. Walau fatwa haram rokok telah dikeluarkan oleh sebagian ulama secara aklamasi.

Hal-hal tersebut merupakan contoh dari berbagai permasalahan yang harusnya lebih ditanggapi. Mengingat didalamnya terdapat beragam hajat orang hidup di negeri ini. Terutama bagi penyelenggara pemerintahan saat ini, yang memiliki kewenangan untuk menentukan sebuah kebijakan dan regulasi. Namun tidak hanya pemerintah, kita juga harus menumbuhkan sikap peduli. Minimal dengan membuka ruang untuk berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka sekedar mencarikan suatu solusi, agar permasalahan tersebut dapat teratasi.

(sampahfly022/25/03/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar