Jumat, 05 Maret 2010

Menyoalkan “hijau”dalam nafas pergerakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), merupakan wadah berekspresi, media untuk menyalurkan aspirasi, dan juga sebagai tempat berorganisasi. Seyogyanya wadah tersebut dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan negeri. Tidak sebatas ajang unjuk gigi dalam menunjukkan eksistensi yang justru hanya mengedepankan ego pribadi. Karena nantinya akan merugikan diri akibat terjadi gesekan emosi.

Seperti yang telah kita saksikan beberapa hari ini. Solidaritas massa HMI melakukan
berbagai aksi. Aksi yang dilatari oleh “dendam organisasi” akibat insiden penyerangan markas HMI. Lihat saja yang terjadi dari pagi hingga malam hari, dari timur hingga ke barat wilayah Indonesia massa HMI menggelar demonstrasi. Agenda mereka semua sama yaitu menuntut pengusutan penyerbuan markas HMI kepada polisi.

Mengurai kemungkinan apa yang melatari kasus penyerangan markas HMI

Kasus penyerangan markas HMI di Makassar kemarin, berimbas pada kericuhan lanjutan hingga hari ini. Kemungkinan ada unsur politisasi dalam kasus ini untuk mengganggu konstelasi. Mengingat kejadian penyerangan tersebut bersamaan waktunya dengan hasil rapat dewan kemarin berupa draft rekomendasi. Hal ini disinyalir sebagai bentuk pengalihan opini dan perlambatan proses hukum skandal Century.

Kemungkinan diatas bisa saja terjadi namun belum tentu menjadi suatu hal yang pasti. Karena banyak kemungkinan lain yang bisa saja terjadi. Seperti, penyerangan tersebut mungkin murni dari sikap ketidaksukaan “seseorang atau kelompok” terhadap pergerakan HMI selama ini. Sehingga menempatkan oknum masyarakat yang dapat dimobilisasi untuk melakukan hal anarki. Kemungkinan itu pula yang bisa terjadi kemarin ketika warga merusak markas HMI untuk kedua kali. Dan dalam penyerangan massa HMI yang berunjuk rasa di depan kampus Universitas Islam Negeri.

Mengapa mahasiswa (HMI) dapat bentrok dengan warga maupun polisi?

Seperti sedikit telah disinggung diatas, bentrok antara massa HMI dengan warga maupun polisi dipicu oleh dendam organisasi. Namun dalih itu seyogyanya jangan dijadikan alat legitimasi dalam melakukan aksi yang berujung pada anarki. Sikap menahan diri dan menyerahkan proses hukum kepada polisi yang harusnya dimiliki. Dengan demikian akan menghindarkan dari gesekan-gesekan yang tak terkendali.

Seyogyanya pula massa HMI yang bernafaskan islam, lebih mengedepankan hal-hal yang berbau islami. Menjadikan azas rahmatan lil alamin sebagai sebuah ideologi. Serta mengedepankan ukhuwah islamiyah sebagai pedoman diri. Dan jika kedua hal tersebut dijadikan falsafah pribadi maupun organisasi, maka dapat dijamin bahwa setiap aksi akan berlangsung damai dan terkendali.

Ada aspek lain yang harusnya lebih dimaknai. Yaitu warna “hijau” dalam dwiwarna bendera dan atau simbol HMI, telah mengandung nilai-nilai yang islami. Hijau merupakan representasi islam dan melandasi falsafah dalam organisasi. Ditambah lagi warna “hitam” yang merepresentasikan keintelektualan seorang mahasiswa sejati. Maka idealnya bagi setiap mahasiswa yang terhimpun dalam organisasi yang bernamakan HMI, harus memiliki kecerdasan intelektual dan falsafah yang islami.

Jika filosofi sederhana tersebut telah mendarah daging, maka dapat dijamin kesantunan dan keteladanan yang akan ditunjukkan oleh massa HMI. Sehingga memulihkan citra mahasiswa di hadapan rakyat dan mendapatkan simpati kembali. Karena saat ini tengah mengalami degradasi.

Dari kasus diatas, kita memang belum dapat menarik sebuah konklusi. Namun tak salah jika kita berasumsi selama itu relevan dan berkorelasi. Apalagi jika didukung oleh argumentasi. Mudah-mudahan kita semua dapat bersikap kritis dan objektif dalam melihat permasalahan ini serta bijak dalam menyikapi.

(sampahfly015/05/03/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar