Kamis, 18 Maret 2010

Menyikapi fatwa ulama yang mengharamkan rokok karena dinilai berbahaya

Merokok memang selalu menuai berbagai kontroversi. Bukan semata-mata karena tindakan dari menghisap rokok saja, tetapi menjurus juga pada “benda” itu sendiri. Di dalam sebatang rokok, menurut paramedic, terdapat bermacam-macam zat yang dapat meracuni tubuh si penghisapnya. Sehingga dapat membahayakan dan merugikan bagi kesehatan.

Dengan dasar pemikiran tersebut, maka rokok dapat dikategorikan ke dalam “benda yang berbahaya”. Dan hal ini pula yang melatari keluarnya “fatwa haram rokok”. Walau akhirnya menimbulkan berbgai kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia dalam beberapa hari ini.

Apa yang menjadikan fatwa haram rokok menuai kontroveri?

Rokok, yang telah dipatenkan sebagai “barang haram” melalui sebuah fatwa, oleh sebagian masyarakat kita ternyata dianggap sebagai “kebutuhan hidup”. Bukan hanya sebatas untuk di konsumsi saja, melainkan telah menjadi komoditas ekonomi. Itulah yang dirasakan oleh para petani tembakau. Yang kita ketahui bahwa tembakau merupakan salah satu bahan dasar pembuatan rokok.

Bagi para petani tembakau, rokok mungkin telah dianggap sebagai sumber penghasilan utama. Hal tersebut disadari karena telah menghidupi mereka dan keluarganya sejauh ini. Dan mereka pasti menyayangkan adanya fatwa tersebut. Terlebih sebelumnya telah beredar isu mengenai RPP tentang tembakau. Maka makin pula mengikis harapan hidup mereka.

Lain petani, lain pula cerita para buruh pabrik rokok. Jika rokok benar difatwakan haram, maka menimbulkan kecemasan dalam benak mereka. Kecemasan itu lantaran dibayang-bayangi rasa ketakutan akan dirumahkan. Hal tersebut memang logis adanya. Jika omset penjualan rokok menurun akibat fatwa haram, maka secara otomatis penjualan akan menurun. Dan mungkin akan memberatkan pihak perusahaan untuk membiayai keseluruhan beban produksi, termasuk didalamnya upah pekerjanya. Maka pengurangan pekerja mungkin menjadi suatu “kebijakan” perusahaan untuk mengatasi krisis terebut.

Namun bagaimana dengan nasib para perokok (pecinta rokok) itu sendiri?

Fatwa haram rokok, sebenarnya ditujukan bagi para perokok itu sendiri. Tujuan dikeluarkannya demi kesehatan. Yaitu demi melindungi para perokok, baik aktif maupun pasif dari ancaman penyakit yang ditimbulkan oleh zat racun yang terkandung dalam sebatang rokok. Selain itu, rokok dinilai pula mengandung lebih banyak mudharatnya dibandingkan maslahatnya. Maka atas dasar itu dikeluarkanlah fatwa ulama yang mengharamkan rokok kepada umat.

Tidak hanya itu, menurut penelitan yang menjadi pertimbangan fatwa tersebut, ternyata rokok “menguntungkan” bagi pihak perusahaan. Meskipun bea cukai rokok tinggi dan merupakan pendapatan yang besar bagi negara, tetapi tidak mengurangi provit yang diperoleh perusahaan rokok. Justru berbanding terbalik apa yang dialami oleh para pecinta rokok. Selain merugikan kesehatan, rokok juga dapat memperbesar anggaran belanja si perokok tersebut. Terlebih lagi menurut survey ternyata para perokok lebih di dominasi oleh masyarakat bawah yang notabene-nya berpenghasilan minim. Mungkin saja diantaranya merupakan para petani dan buruh rokok itu sendiri.

Bagaimana kita menyikapi fatwa haram rokok tersebut?

Mengingat fatwa tersebut telah dikaji secara matang dan dipertimbangkan dengan seksama. Dan juga telah melibatkan berbagai ahli diberbagai bidang, seperti agama, kesehatan, ekonomi dan lainnya. Dan perlu diingat pula bahwa fatwa ulama merupakan bentuk dari ijtihad mereka demi kemaslahatan bersama. Maka sudah sepatutnya kita sebagai umat menunjukkan apresiasi terhadapnya. Bukan dengan sikap antipati walau telah menuai berbagai kontroversi didalamnya. Namun kita juga hendaknya menghargai fatwa mereka dan “menerima” keberadaannnya. Bukan dalam arti memaksakan untuk mengamalkannya. Karena semua kembali kepada masing-masing pribadi dalam menilai sebuah fatwa dan untuk menjalankannya.

(sampahfly017/18/03/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar