Islam dan keislaman dalam realita
Sebagai suatu ajaran keagamaan yang mengikat bagi setiap pemeluknya, Islam mengajarkan berbagai nilai kebaikan yang menjunjung tinggi moral dan etika. Berbagai nilai yang terkandung dalam ajaran Islam itu bertujuan demi kemaslahatan di dunia. Yaitu dengan membawa umat manusia ke hidup yang lebih bahagia. Tidak hanya meraih kebahagiaan sekarang di dunia fana, melainkan juga kebahagiaan kelak di alam baka.
Nilai-nilai keislaman itu yang idealnya diejawantahkan oleh kita. Agar tak sebatas sebagai “hukum tertulis” saja yang terdapat dalam kitabnya. Melainkan sebagai tingkah laku keseharian yang nyata. Karena surga dan neraka bukanlah sebatas ganjaran Tuhan belaka, yang kelak menimpa hamba-Nya. Melainkan suatu realita faktual yang dirasakan oleh kita bersama dalam bentuk suka dan duka.
Pengejawantahan nilai keislaman dalam keseharian bermasyarakat dan berbangsa; sebuah analogi sederhana
Menjadi penting ketika kita mengamalkan nilai keislaman dalam keseharian bermasyarakat maupun berbangsa. Tujuannya tak lain seperti yang telah diutarakan sebelumnya, yaitu menduniakan pesan damai dari surga. Seperti berikut ini dalam sebuah analogi sederhana.
Menjadi seorang muslim itu mudah, karena Tuhan tak pernah memberi perintah diluar kemampuan hamba-Nya. Setiap muslim pun memiliki “tanggung jawab” yang berbeda sesuai “peran”nya. Sebagai gambaran; muslim A adalah seorang penguasa yang memimpin suatu bangsa. Sedangkan muslim B merupakan rakyat biasa yang sederhana. Ketidaksamaan keduanya lantaran status sosial mereka yang berbeda. Namun tak menghalangi dalam kesamaan pilihan bertuhan maupun beragama.
Selain perbedaan strata (peran) diantara mereka, kedua muslim tersebut berbeda dalam segi tanggung jawab, baik kepada Tuhan maupun sesama. Muslim A memiliki tanggung jawab dalam memimpin rakyatnya, termasuk B didalamnya. Sehingga dia harus memiliki perhatian dan kepedulian yang lebih terhadap muslim B maupun yang lainnya. Agar muslim B dapat merasakan kenyamanan dalam berkehidupan selama masa kepemimpinannya. Sehingga dapat dinilai sebagai pemimpin yang bijaksana.
Kenyamanan yang dirasa muslim B merupakan tanggung jawab prioritas bagi muslim A, itu dalam konteks hubungannya antar sesama. Namun dampak hal tersebut tak hanya tergambar dalam kurva mendatar saja. Melainkan tergambar pula dalam kurva tegak lurus yang mengindikasikan pada hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena apa yang ditanam oleh muslim A dalam kehidupan ini akan berdampak sistemik di kehidupan lainnya.
Jika muslim A berperan sebagai pemimpin yang bersikap bijaksana. Lain halnya dengan muslim B yang berperan sebagai rakyat yang sederhana. Dalam kesederhanaannya tersebut, dia belajar menikmati hidup dengan bersabar dan menyerahkan diri kepada Tuhannya. Karena dengan memiliki sikap kesabaran, maka akan lebih mendekatkannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Innallaha ma’a sobirin, begitulah firman-Nya.
Buah dari kesabarannya itu tidaklah dinikmati nanti di surga. Tetapi juga di dunia, yaitu dengan figur perantara-Nya berwujud manusia. Yaitu seorang pemimpin yang bijaksana. Yang mengayomi dan melindungi rakyatnya. Pemimpin itu tak lain adalah peran yang ditanggungjawabkan kepada muslim A. Yang berperan juga sebagai mediasi pertolongan Tuhan kepada hambanya yang sabar dan berserah diri hanya pada-Nya.**
Siklus alamiah tersebut bukanlah suatu yang mengada-ada. Karena ada sebuah penjabaran mengenai relevansi dan kausalitas yang nyata. Dimana ketika ada suatu “peran” yang dijalankan dengan semestinya, dengan tidak mengurangi “tanggung jawab” didalamnya. Maka akan menghasilkan suatu keharmonisan dalam kehidupan di dunia. Dan ada keseimbangan antara peran dan tanggung jawab disana. Sehingga mengindikasikan bahwa nilai keislaman dalam keseharian bukanlah suatu hal yang mengangkasa, melainkan mendunia. Dan justru akan menuai benih kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
****bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar