Kamis, 25 Maret 2010

Dinamika persepakbolaan dalam negeri: dari fanatisme yang tinggi hingga mobilisasi suporter kearah politisasi

Perang bintang kembali terjadi pada hari ini. Tidak hanya menerjang sebuah institusi, melainkan juga mengguncang Stadion Gelora Bung Karno pada petang tadi. Perang bintang yang dimaksud adalah “perseteruan para bintang sepakbola” dalam laga pertandingan antara Persija melawan Persib yang kental akan emosi. Ditambah lagi kedua kesebelasan tersebut pun bermusuhan secara histori. Sehingga menyiratkan bahwa pertandingan keduanya sarat gengsi.

Tidak hanya para pemain, ketegangan tampaknya lebih berlaku bagi para suporter masing-masing kesebelasan yang kerap menimbulkan anarki. Apalagi kedua supoter tersebut terkenal memiliki fanatisme yang tinggi. Kedua kubu suporter tersebut pun “saling menuding” sebagai musuh abadi.

Hal tersebut yang kemudian menjadi perhatian khusus bagi pihak panitia penyelenggara, dalam hal ini adalah PSSI. Melalui kerjasamanya dengan pihak keamanan dari polisi, mereka memfokuskan diri pada pertandingan agar berjalan aman dan terkendali. Alhasil, kerusuhan yang ditakutkan selama pertandingan urung terjadi. Walau pada pertandingan tadi berkesudahan dengan kedudukan seri.

• Kekhawatiran PSSI dan polisi akan aksi suporter yang anarki

Kekhawatiran panpel akan kerusuhan memang tidak terjadi. Namun kekhawatiran tersebut selalu membayangi tiap kali akan menggelar pertandingan sepakbola resmi. Kekhawatiran tersebut memang beralasan dan tak berdiri dengan sendiri. Lantaran seperti yang kita ketahui bahwa tingkah laku suporter sepakbola kerap berujung pada aksi pelampiasan kekecewaan dan emosi. Seperti perbuatan merusuh, merusak dan melakukan tindakan yang tak terpuji.

Prilaku suporter tersebut bukanlah tindakan yang terencana, apalagi tersistematisasi. Namun lebih merupakan tindakan spontanitas yang tak terkendali dan tersulut provokasi. Akibat kekecewaan yang meliputi diri, lantaran menyaksikan team kesayangannya tak mencapai tahap glori. Sehingga menimbulkan kejengkelan yang terpendam dan akhirnya meluapkan emosi sebagai bentuk implikasi. Dan berujung pada aksi anarki, entah itu dengan cara mencaci maupun melempari.

• Suatu generasi yang mendominasi persepakbolaan dalam negeri

Hal-hal tersebut yang menjadikan sebuah dinamisasi. Dimana jiwa sepakbola dalam masyarakat telah merasuki beragam dimensi. Mulai dari mereka para petani, penyanyi, hingga politisi negeri ini. Bahkan sepakbola telah menjadi sebuah komodias politik yang didengungkan dalam berbagai jargon kampanye dengan tujuan untuk menarik hati. Terutama bagi mereka generasi muda yang secara umum lebih mendominasi.

Dalam hal ini kemudian terdapat sebuah relevansi. Dimana ternyata para suporter yang melakukan aksi anarki, tergolong ke dalam usia muda yang labil secara psikologi. Sehingga kelabilan mereka itu mudah untuk diprovokasi dan dimobilisasi. Baik itu dalam bentuk peluapan emosi, atau mungkin dalam hal mobilisasi dalam rangka politisasi.

Maka tak jarang jika kita sering melihat seorang politisi menarik simpati. Yaitu dengan merangkul generasi muda khususnya yang tergabung dalam komunitas suporter dalam negeri. Untuk kemudian dimobilisasi dengan tujuan-tujuan pribadi. Sehingga ada sebuah unsur politisasi dalam ranah persepakbolaan di negeri ini.

• Nilai sportivitas yang dipolitisasi

Jika sudah demikian, maka sulit membayangkan bagaimana nasib persepakbolaan kita nanti. Karena tak dapat dipungkiri bahwa sepakbola telah disusupi. Yaitu dengan unsur-unsur pragmatisme yang menggeser nilai sportivitas yang harusnya dimiliki. Apalagi jika petinggi institusi sepakbola tidak lagi berasal dari kalangan olahragawan itu sendiri. Melainkan dari profesi lain yang tak memiliki korelasi.

Akiatnya yang kita lihat sekarang telah terjadi stagnasi. Dimana sepakbola kita hanya berjalan di tempat dan tak mununjukkan sebuah prestasi. Malah sebaliknya kian terbenam akibat citra anarki. Untuk itu sudah seharusnya kita para pecinta sepakbola dalam negeri untuk berpartisipasi. Terutama bagi mereka para pelaku, baik itu bintang lapangan sepakbola maupun pendukungnya untuk menahan diri. Tidak terfragmentasi, lantaran berbeda kota dan tradisi. Baik itu suporter Persija (The Jaks) maupun suporter Persib (Bobotoh), harus saling menghormati dan munjunjung nilai sportivitas yang tinggi.

(sampahfly023/25/03/2010)

3 komentar:

  1. di mabes POLRI jg lg perang bintang bos...gara" pakde SUSNO buka mulut.... gmn tuh?????????/

    BalasHapus
  2. jadi ga ada beda nya dunk antara suporter bola dan pakde" yamg ada di POLRI hanya mungkin yang beda "Demi ALLAH" nya aja dunk ,,
    hehehe,, ( cowry _-red-_)

    BalasHapus