Kamis, 25 Februari 2010

Muhammad bin Abdulah: Keteladanannya dalam mewujudkan persamaan antar insan

“Buruh, tani, mahasiswa, rakyat miskin kota. Bersatu padu rebut demokrasi..”, demikian penggalan lirik sebuah “lagu jalanan” yang sering dinyanyikan dalam rangka berunjuk rasa. Tujuan dinyanyikannya adalah untuk memompa semangat para demonstran jalanan. Terlebih agar diperhatikan pula oleh pemangku kebijakan.

Nyanyian tersebut sebenarnya lebih familiar terdengar dan terlantun dari para aktivis “kiri”. Karena dalam ideologi mereka, kebersamaan dalam komune adalah hal utama. Persamaan dalam nasib yang menjadikan ikatan emosional sesama mereka. Dan peningkatan taraf hidup mereka menjadi visi bersama.

Siapa sangka, niat mulia berjuang untuk mengangkat derajat kaum yang termajinalkan, seperti buruh, tani dan rakyat miskin, sesungguhnya ternodai oleh suatu bentuk propaganda. Propaganda yang sistematis, karena sang kretor hanya terduduk manis. Tak pernah ikut serta dalam perjuangan di kancah jalanan. Yang mereka peduli hanya kekuasaan. Kekuasaan yang mencatut nama rakyat sebagai objek yang diperjuangkan.

Manusia yang merusak idelogi itu sendiri

Mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang berasaskan pada “sama rata dan sama rasa”, sebenarnya merupakan bentuk dari keidealan. Namun tak dapat kita pungkiri pula bahwa “keidealan” hanya berada di luar realita. Tak lain hanya sebatas paham idealisme (sebuah ide semata). Walau hal itu pernah dicoba implementasinya dalam dunia nyata, namun tak pernah berlangsung lama. Sebaliknya malah menimbulkan derita dan cerita nestapa.

Bangsa ini pun pernah mencobanya. Dan sejarah pula yang menuliskan nestapanya. Rakyat yang akhirnya menjadi korban. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan, yang terjadi malah menambah penderitaan. Apa yang keliru dari paham tersebut? Padahal tujuannya begitu mulia mensejajarkan derajat manusia.

Sebenarnya tak ada yang keliru dari isi paham tersebut. Permasalahan utamanya ada di manusia sebagai penganutnya. Jika digunakan sesuai koridornya, maka kemaslahatan kan tercapai. Namun jika penganut itu menafikannya, kesengsaraanlah yang kemudian akan menimpa.

Muhammad bin Abdullah pelopor persamaan derajat manusia

Asas “sama rata sama rasa” sebenarnya telah dicontohkan oleh Muhammad bin Abdullah jauh terlebih dulu dari paham modernnya abad 18. Muhammad bin Abdullah yang hidup sekitar abad ke-7 telah membangun masyarakat madani. Masyarakat yang menjunjung tinggi persamaan derajat insani. Tak ada yang mengklaim dirinya lebih tinggi. Bahkan beliau sendiripun selaku pemimpin dan penyampai ideologi.

Beliau mengajarkan humanisme universal. Tidak hanya sesama manusia saja melainkan juga kepada alam dunia. Karena esensinya manusia dan alam merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa. Tak ada sikap saling merendahkan, yang ada adalah sikap persaudaraan.

Persamaan derajat telah beliau praktekkan pada zamannya. Dan kemaslahatanlah yang mereka rasakan bersama. Tidak halnya seperti saat ini, mereka yang berniat untuk menerapkan persamaan antar sesama, namun realitanya malah melupakan niat mulanya. Apalagi jika proses penerapannya dilakukan dengan cara yang frontal, seperti mengkudeta ideologi. Tentu akan meninbulkan ketidakharmonisan yang akhirnya berimbas pada tragedi kemanusiaan.

Muhammad bin Abdullah telah mempraktekkan asas persamaan yang menjadi platform utama para aktivis kiri. Beliau juga telah banyak mencontohkan bentuk keteladanan yang layak menjadi reverensi kita saat ini. Banyak pula cara untuk mengimplementasikan apa yang menjadi visi kita untuk mendamaikan negeri. Dan bukan hanya tugas para aktivis kiri, melainkan kita semua yang ingin hidup lebih madani.

(sampahfly009/26/02/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar