Rabu, 24 Februari 2010

Mempertanyakan empati dalam sebuah tragedi

Musibah kembali melanda bumi pertiwi. Kali ini tanah longsor menimpa sebuah perkampungan sekaligus lahan perkebunan di daerah Bandung Selatan kemarin pagi. Puluhan orang diperkirakan menjadi korban. Dan puluhan rumah juga tertimbun material tanah longsor tersebut.

Bencana ini tak terlepas disebabkan faktor alam. Curah hujan yang tinggi dan juga faktor geologi daerah tersebut yang rentan vulkanologi seperti menurut badan geologi Kementerian ESDM. Namun tak bisa dipungkiri juga adanya “andil” manusia dalam penyebab bencana tersebut. Alihfungsi hutan yang tidak adil, karena tak mementingkan konservasi alam secara keseluruhan.

Lahan di lereng gunung yang idealnya ditanami pohon besar sebagai penyangga air, dialihfungsikan dengan tanaman komersil, yaitu teh. Sehingga tak dapat menahan volume air hujan yang besar dikarenakan curah hujan belakangan hari ini tinggi. Maka jangan salahkan alam sepenuhnya jika terjadi hal demikian.

“Telah tampak kerusakan di muka bumi, disebabkan ulah tangan manusia itu sendiri”. Penggalan firman Tuhan tersebut merupakan indikasi kuat adanya campur tangan manusia dalam setiap bencana yang terjadi. Telah menjadi hukum alam, jika perubahan iklim yang signifikan saat ini disebabkan oleh manusia sendiri.

Beralih dari bencana di daerah, sekarang kita menuju ke ibukota. Terlihat bagaimana “asiknya” para elite dalam kehidupan bernegaranya. Mereka masih berkutat pada permasalahan kepentingan. Tarik ulur proses penegakkan hukum menjadi suatu drama telenovela. Kita masih disajikan pertunjukkan perebutan kekuasaan.

Kala di dalam gedung dewan yang megah tersaji adegan perang argumentasi, di luar sana menunggu ribuan orang yang sedang memperjuangkan nasibnya. Mereka berunjukkrasa agar kesejahteraannya lebih diperhatikan. Dengan diangkat “derajat” hidupnya menjadi pegawai negeri. Kerena selama ini mereka merasa terkatung-katung statusnya.

Para elite tersebut tak juga bergeming dari “tugasnya” dalam menjalankan proses “penegakan hukum”. Walaupun di waktu yang sama telah terjadi sebuah tragedi. Dan tengah berlangsung proses evakuasi. Lantas mana yang harus menjadi sebuah prioritas pribadi? Penegakan hukum atau peka terhadap suatu tragedi??

Hukum memang harus ditegakkan, namun kepekaan terhadap sesama haruslah ditunjukkan. Jangan jadikan dalih menegakkan hukum sebagai tameng untuk mem”bersih”kan diri. Dan melihatkan sikap konsistensi ke publik dengan tujuan mencari simpati. Padahal justru sebaliknya, mereka para elit harusnya lebih berempati terhadap rakyat terutama korban sebuah tragedi.

Saat ini banyak daerah sedang dilanda berbagai musibah. Banjir datang, tanah longsor menghadang, dan gempa yang mengguncang. Namun semua itu tak menjadikan mereka elit negara termotivasi untuk mempercepat proses kerja. Malah ada indikasi untuk memperlambat proses kerja, karena adanya tambahan dana.

Miris jika hal tersebut memang terbukti. Materi menjadi kebutuhan pribadi yang tak dapat terganti hingga rela menggadaikan simpati. Dimana “Ratu Adil” yang dinanti-nanti? Apa saat ini belum waktunya menunjukkan diri? Atau hanya mimpi yang ditanamkan secara tradisi? Yang pasti adalah kita semua menanti kinerja dan kepedulian lebih dari mereka elit negeri.

Semoga korban bencana yang kemarin terjadi dan masih hidup diberikan kesabaran, dan yang meninggal diterima disisi Tuhan.

(sampahfly008/24/02/20010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar