Banjir, permasalahan klise yang tiap tahunnya menjadi headline hamper ditiap media masa. Terlebih lagi jika memperhatikan siklus iklim serta curah hujan beberapa tahun belakangan ini sulit di prediksi. Begitu pula dengan sulitnya memprediksi kapan datangnya banjir, seperti sulitnya memprediksi kapan datangnya bulan. Hanya siklus “natural” yang mampu menjawabnya. Memang kurang relevan membandingkan antara keduanya. Namun seperti itulah yang kemudian terjadi, banjir dapat datang kapan saja walaupun tidak disertai tanda.
Banjir di Jakarta khususnya, menjadi pekerjaan rumah besar baik bagi pemerintah daerah maupun warganya. Karena kita semua wajib berpartisipasi untuk menanggulanginya serta bertanggung jawab terhadap lingkungan. Banjir tidak “ujug-ujug” terjadi begitu saja. Pola hidup masyarakat yang tidak peduli dan sehat dengan membuang sampah sembarangan seperti ke sungai contohnya, merupakan penyebab terjadinya banjir. Selain alam dengan curah hujan tinggi dan penyempitan daerah aliran sungai (DAS) di “kota metropolitan” ini.
Ada empat elemen, menurut pendapat saya, yang menjadi penyebab banjir seperti yang telah diuraikan sebelumnya; 1) curah hujan yang tinggi (factor alam), 2) tingkat kesadaran warga Jakarta yang minim, 3) menyempitnya daerah aliran sungai (DAS), dan 4) kurangnya kecakapan pemerintah daerah. Dari keempat elemen tersebut, lebih banyak yang disebabkan oleh “human factors”, sebagai khalifah yang justru dipercayakan oleh “alam” untuk menjaganya.
1) Curah hujan yang tinggi
Faktor ini tidak dapat dipungkiri merupakan murni kehendak “alam”, manusia tidak dapat mencegahnya. Namun kita minimal dapat mempridiksinya, sehingga dapat mempersiapkan diri kapan akan terjadinya banjir. Penting agar kerugian material dapat diminimalisir, terutama bagi warga yang bertempat tinggal di “daerah langganan banjir”.
Permasalan curah hujan, tampaknya kian sulit ditangani, lantaran siklus alam pada masa ini sulit ditebak. Tidak lain disebabkan oleh perubahan ikim global. Tidak hanya ilmu dan teknologi yang mengalami glogalisasi, iklimpun demikian. Perubahan iklim ini sepadan dengan perubahan pola hidup manusia yang tidak peka terhadap alam. Padahal manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri.
2) Tingkat kesadaran warga Jakarta yang minim
Masalah ini tak lain adalah domain kausal dari factor diatas. Tingkat kesadaran warga yang minim, mengindikasikan mental/moral warga yang minim pula. Hal ini dikarenakan warga Jakarta telah mengalami degradasi moral yang lebih tinggi dibandingkan warga desa. Masyarakat kota yang individual dan serba instant, menyebabkan pola hidup yang instant pula. Mereka hanya mementingkan kubutuhan “jadi” tanpa memedulikan “prosesnya”. Padahal proses ini tidak terlepas dari “bantuan alam”.
Warga dengan acuhnya menyampingkan konstelasi alam, seperti menebang pohon, membuang barang yang habis pakai sembarangan, dan mengubah lahan menjadi perumahan. Sehingga dampaknya kita rasakan bersama dengan makin besarnya becana banjir.
3) Menyempitnya daerah aliran sungai
Daerah aliran sungai yang seyogyanya merupakan daerah penyangga banjir, kian hari menyempit tergusur oleh pemukiman. Ironinya pemukiman tersebut lebih didominasi oleh pemukiman illegal. Inilah yang menjadi permasalahan krusial, terjadi “dualisme kebutuhan”. Disatu sisi, mereka yang tinggal dibantaran sungai berdalih membutuhkan tempat bernaung untuk hidup dan “tak mampu” untuk memiliki rumah selayaknya. Sehingga mencari yang “instant” dengan membangunnya di bantaran suangai. Disisi lainnya, permasalahan pemukiman tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi “regulator ibukota”. Jika tidak ditangani, permasalahan banjir akan terus melanda dan menyebabkan ketidakindahanan tata ruang kota. Namun sang regulator juga memiliki “wisdom” yang miris melihat ketidak merataan kemakmuran tersebut. Maka harus ada tindak tegas agar permasalahan tersebut tak berlarut-larut, seperti merelokasi dan menyediakan tempat yang layak bagi mereka serta lebih memedulikan nasib mereka.
4) Kurangnya kecakapan pemerintah daerah
Kecakapan pemerintah daerah ini juga tak terlepas dari penjelasan sebelumnya. Pemda memeng harus lebih proaktif untuk mengatasi banjir, salah satunya seperti diatas. Namun masyarakat justru berharap banyak pada realisasi planning pemda. Proyek BKT yang rencananya rampung akhir tahun kemarin, hingga saat ini belum juga. Relokasi penduduk di bantaran sungai pun tak kunjung terlaksana. Padahal dalam janji kampanye beberapa tahun kemarin begitu lugasnya meneriakkan jargon penanggulangan banjir. Tetapi hingga detik ini pun tak urung ditepati. Tinggal masyarakat dengan segala problematika kehidupannya menanti hingga terus menanti kenyaman hidupnya.
Banjir, memang selalu menjadi langganan bagi ibukota. Masyarakat tampaknya sudah terbiasa dengannya. Bahkan pemda sendiri pun tak mampu menanggulanginya. Berbagai program, berbagai proyek, dan berbagai produk tak mampu menanggulanginya. Hanya tersisa bagaimana meratapi banjir yang terus melanda ibukota dan melihatnya di berbagai media. Layaknya “bintang televisi” yang tiap tahunnya mendapat “award” karena penampilannya mencuri perhatian dan menjadi perbincangan.
(sampahfly003/20/02/2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar