Kamis, 29 Juli 2010

Kekisruhan yang Berkala

Setelah sebulan penuh kita disuguhkan dengan informasi seputar dunia selebriti beserta ragam gaya hidup mereka melalui layar kaca. Kini kita kembali dihidangkan dengan perseteruan opini mengenai media yang meng-gibah-kan para selebriti tadi melalui berbagai cerita. Jika pada sebelumnya selebritilah yang menjadi obyek perbincangan, kini justru sebaliknya. Media massa yang diobyekkan sebagai materi berita.

Keadaan ini menjadi menarik dikarenakan adanya counter attack terhadap para pemberita. Mereka seakan memakan tuah dari apa yang selama ini dikabarkannya. Tak ayal pula, tuah yang mereka terima pun berasal dari berbagai lapisan massa dengan beragam sudut pandangnya. Mulai dari kacamata hukum dan hak asasi manusia, sosial budaya, bahkan hingga agama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kekisruhan ini telah merasuk ke dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia.

Mengurai kronologi dari kekisruhan pertama

Kronologi kekisruhan ini sesungguhnya tak terlepas dari beredarnya sebuah video dua sejoli selebriti yang tengah di mabuk cinta. Dan terhanyut dalam buaian api asmara yang kian menggelora. Di tambah pula dengan hasrat “selebritasnya” yang dimiliki oleh keduanya. Yang ingin selalu menjadi pusat perhatian massa. Sehingga dengan sengaja mendokumentasikan adegan kemesraan ke dalam bentuk visual yang mudah ditangkap oleh kedua mata.

Namun ternyata mereka pun lupa. Bahwa saat ini adalah eranya teknologi informasi yang menafikan ruang dan waktu didalamnya. Sehingga kejadian apapun mudah terekam kamera. Dan mudah menjadi konsumsi bersama. Terlebih bagi mereka para selebriti yang notabene-nya menjadi public figure dan memiliki potensi komersial yang tinggi pula.
Dengan demikian, maka wajar jika ada seseorang yang disengaja maupun tidak memanfaatkan peluang tersebut untuk kepentingan dirinya. Dan memanfaatkan potensi komersialisasi tadi sebagai sebuah usaha.

Pemberitaan yang berasaskan pada norma atau berdasarkan pada provit semata?

Kekisruhan video dua sejoli selebriti tadi begitu menjanjikan jika digarap dengan cermat dan seksama. Terbukti setelah sebulan berjalan, ternyata rating berita mengenai video tersebut pun masih berkisar pada urutan teratas tangga berita. Bahkan waktu penyiarannya pun dapat berulang beberapa kali dalam sehari; pagi, siang, petang, bahkan hingga malam menjelang menutup mata.

Pemberitaan berulang yang demikian mengisyaratkan bahwa animo masyarakat begitu besar untuk menyaksikannya. Secara tidak langsung pun menularkan gairah semangat kepada pemberita untuk terus meng-up date kelanjutan dari ceritanya. Di samping itu pula, pertimbangan terkait faktor ekonomi pun kian memompa spirit mereka dalam berkarya.

Faktor panjang usianya berita

Dalam permasalahan ini ada dua factor yang memiliki andil menciptakan kekisruhan tadi menjadi berkepanjangan dan tak ada juntrungan-nya. Pertama, disebabkan oleh rasa penasaran masyarakat yang tak ada habisnya. Sehingga melatari mereka untuk terus mengikuti perkembangan pemberitaan mengenai sang idola.

Rasa penasaran tersebut sesungguhnya tidak hanya disebabkan oleh sikap mengidolakan serta rasa suka. Namun juga dikarenakan oleh suatu kaidah norma, seperti kesusilaan ataupun agama. Mengingat norma yang dipegang dalam masyarakat tradisional Indonesia begitu kental mengandung unsur-unsur agama. Sehingga secara tak langsung pula menambah rasa penasaran dalam diri mereka.

Kedua,antusias masyarakat seperti diatas memberikan dorongan moril pada para pencari berita. Sehingga ada hasrat kepuasan dalam diri mereka untuk terus mencipta. Mengabarkan apa yang diinginkan oleh massa melalui sebuah media. Entah itu melalui media cetak yang dapat memuaskan si pembaca. Ataupun melalui media elektronik, seperti layar kaca yang dapat mengurangi rasa penasaran dalam sepasang bola mata.
Kepuasan diri bagi para pemberita ternyata tidak hanya berbentuk moril saja. Tetapi juga berupa meterial seperti meningkatnya jumlah pendapatan mereka. Lantaran berita yang dihasilkan laris di pasaran ibokota maupun desa.

Nah, pada titik inilah terjadi kesangsian terkait dengan apa yang dijalani oleh mereka. Jika niat mereka memang untuk memenuhi kepuasan diri dalam berkarya. Tentunya kemaslahatan masyarakat menjadi alasan utama. Ukuran niatnya adalah kekisruhan pertama yang secara tak langsung mereka cipta idealnya dapat diatasi segera. Dan tidak memancing meletusnya kekisruhan berikutnya. Namun yang terjadi saat ini seperti inilah adanya.

Kekisruhan babak kedua

Kekisruhan babak kedua memang tak berdiri sendiri tanpa adanya yang pertama. Namun kekisruhan ini seyogyanya dapat dicegah dan diantisipasi bersama. Jika para messengers (pemberita) tetap berpedoman pada koridornya. Karena duduk perkara kekisruhan babak kedua ini bermuara pada mereka, yaitu media yang sebelumnya rutin mengabarkan berita seputar selebriti kepada massa.

Hal itu yang kini menjadi boomerang dan dipermasalahkan oleh beragam pemerhati media massa. Karena sebagian menilai mereka bertindak diluar koridor yang semestinya. Seperti dengan menampilkan tayangan untuk dewasa tidak pada tempatnya. Walaupun niat dari penayangan tersebut baik, namun ternyata tidak demikian dinilai oleh sebagian lainnya.

Kontinuitas pemberitaan menjadi perkara

Contoh sebab musabab dari kekisruhan ini adalah pemberitaan yang berulang, kontinuitas serta rutinitas yang berkala. Pemberitaan tersebut ternyata menghiasi kesehariaan masyarakat Indonesia. Terutama bagi para ibu dan anak yang secara langsung mengaksesnya. Hal tersebut mengkhawatirkan jika dilihat bahwa materi beritanya diluar dari kapasitas mereka.

Factor lain pun adalah jam tayang dari pemberitaan tersebut selalu di luar jam kerja. Dimana pada waktu tersebut tidak hanya para ibu, namun juga beragam usia menonton dan menyaksikan mulai dari anak hingga dewasa. Yang memprihatinkan adalah materi berita sama. Antara berita untuk kategori dewasa ataupun anak tiada beda.

Jika dicermati dampak dari pemberitaan yang kontinuitas dan tidak pada waktunya tersebut memang tak langsung dirasa. Namun tanpa disadari materi berita tersebut secara perlahan tertanam dan tercerna. Yang dikhawatirkan dampaknya berpengaruh signifikan justru pada usia anak yang tergolong belia.

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan mengingat anak adalah investasi demi masa depan bangsa. Bagaimana bangsa ini akan maju jika anak bangsa saja telah terasuki oleh nilai yang tak sesuai dengan norma.

Agama ikut berbicara

Jika kekisruhan babak pertama saja sudah merambah ke berbagai sendi kehidupan berbangsa. Kekisruhan yang kedua pun tak jauh berbeda. Jika dalam bahasa agama, pelaku penyebab kekisruhan babak pertama menuai dosa. Maka pada yang kedua pun mengalami hal yang sama. Karena keduanya telah menyebabkan terganggunya kemaslahatan bersama. Itupun jika di tinjau dalam kaidah hukum muamalat atau antar manusia.

Bahkan akibat lainnya pun ternyata tak dapat di sangka. Lantaran kekisruhan ini telah mengganggu ketentraman, sampai-sampai para ahli hukum agama mengeluarkan fatwa. Hal tersebut jelas membuktikan bahwa kekisruhan ini telah merambah luas ke berbagai kalangan termasuk ulama.

Namun terlepas dari dosa tidakkah mereka para penyebab kekisruhan ini nantinya. Hanya Tuhanlah yang memiliki otoritas mutlak terhadap semua. Kapasitas manusia hanya pada menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Budaya kekeluargaan kunci penyelesaiannya

Tak jauh berbeda dengan sudut pandang agama, dalam kacamata budaya sendiri kekisruhan yang telah dan tengah terjadi semestinya menjadi sebuah dinamika. Karena kekisruhan ini terjadi akibat beranekaragamnya budaya. Keniscayaan tersebut kian mengemukakan adanya keragaman sudut pandang yang berdasarkan pada adat istiadat keetnisaannya. Namun perbedaan tersebut bukanlah suatu hal yang harus dihindari melainkan disyukuri keberadaannya.

Satu sikap yang harusnya direnungi bersama untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan mengamalkan budaya kekeluargaan yang telah menjadi jati diri bangsa. Dengan begitu maka pertentangan pandangan yang mengemuka pada mulanya, akan pudar dengan sendirinya jika dapat saling memahami antar sesama anak bangsa.

(sampahfly)

1 komentar: