Rabu, 21 April 2010

Stigma dalam balutan busana

Tragedi pengeboman yang kerap terjadi, selalu menyisakan beribu duka dan berjuta kecewa. Tidak hanya menyelimuti mereka para korban yang menderita. Namun juga bagi segenap warga negara. Karena tragedi tersebut terjadi layaknya suatu bencana yang menimpa tanah air Indonesia. Dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Bahkan bagi mereka yang tak berdosa. Sehingga menggoreskan sebuah luka. Yang takkan pernah terlupa. Yaitu sebuah luka berupa trauma.

Ketraumaan kerap menyelimuti mereka para korban bencana. Dalam hal ini bagi mereka para korban peledakkan bom, yang kian sering terjadi pasca runtuhnya Orba. Dan berbarengan pula dengan berulirnya millennium ketiga. Semenjak itu teror bom kerap menimpa. Menyusul kian berhembus kencangnya angin propaganda. Yaitu propaganda berupa sentimen suku, agama, ras dan antar golongan yang dikenal dengan SARA.

Propaganda pemicu konflik bermuatan SARA

Sikap sentimen berbau SARA memang semakin kental dirasa. Khususnya semenjak era reformasi dan jatuhnya rezim Orba. Padahal jika menoleh ke awal tujuan dari reformasi, bukanlah untuk menumbuhkan sikap bangga. Apalagi menanamkan kebanggaan terhadap suku, agama, ras dan antar golongan dalam suatu komunitas massa. Tetapi lebuh memfokuskan pada suatu agenda. Yaitu dengan mengubah sistem yang telah ada. Yang ditengarai telah membawa derita dan membuat sengsara. Dan menggantinya dengan sistem baru yang diklaim dapat mengarah pada tingkat sejahtera.

Namun, untung tak dapat diraih, yang terjadi saat ini adalah kian tumbuh suburnya sikap sentimen berbau SARA. Sikap tersebut pun kerap kita temui di mana-mana. Karena bukan lagi sebatas isu belaka atau sesuatu yang mengada-ada. Namun telah menjadi realita dalam kehidupan berbangsa. Seperi yang telah terjadi di berbagai belahan nusantara. Berbagai konflik meletus dan mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa.

Berbagai konflik yang telah terjadi, tidak hanya disebabkan akibat permasalahan yang sederhana. Seperti akibat sikap kedaerahan yang berlebihan dalam suatu kelompok massa. Namun lebih kompleks lagi, karena telah merambah ke bidang agama. Hal tersebut yang kita jumpai saat ini, seperti dalam kejadian peledakkan bom khususnya. Karena para pelaku peledakan bom tersebut selalu bertindak “berdasarkan” perintah agama.

Alat legitimasi kekerasan mengatasnamakan agama

Permasalahan ini menjadi semakin rumit dan sulit untuk dipecahkan bersama. Karena jika telah menyinggung wilayah agama, maka penyelesaiannya pun menjadi sebuah dilema. Di satu sisi perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, dianggap sebagai perbuatan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia. Namun di sisi lain, para pelakunya masih bersihkeras bahwa mereka bertindak berdasarkan perintah agama.

Legitimasi kekerasaan yang mengatasnamakan agama menjadi sebuah permasalahan yang menggurita. Karena tingkat sensitivitasnya begitu terasa. Jika sistem kepercayaan telah dijadikan alasan dalam melakukan tindakan diluar batas kemanusiaan, seperti teror bom misalnya. Sesungguhnya hal tersebut telah menggadaikan kesakralan dari suatu agama. Dan dapat menumbuhkan stereotip negatif terhadap suatu agama. Bahkan akan menumbuhkan sikap sentimen terhadap agama tertentu dan memicu meledaknya konflik antar pemeluk agama.

Stereotip negatif terhadap suatu agama

Pandangan negatif terhadap suatu agama, tidaklah muncul dengan sendirinya. Melainkan suatu rangkaian akibat tindakan yang memicu permusuhan diantara berbagai agama. Salah satu tindakanny, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Yaitu peledakkan bom dengan dalih perintah agama. Apalagi jika para pelakunya membawa symbol-simbol agama. Serta menjadikan lembaga atau penganut agama lain diluar mereka sebagai target dari peledakkan bom yang halal darahnya.

Akibat dari prilaku pemeluk agama seperti diatas, maka citra negatif pun diterima. Khususnya kepada suatu agama yang dianut oleh mereka. Terlebih mereka (para pelaku/pemeluk agama) dalam aksinya membawa-bawa symbol agama. Tidak hanya dalam aspek ideologi sebagai landasan tindakannya. Tetapi juga dalam ranah materi, dimana mereka merealisasikan simbol agama ke dalam unsur busana.

Busana menunjukkan identitas suatu agama

Busana merupakan salah satu bagian dari kebutuhan primer manusia. Selain kegunaannya untuk menutupi kemaluan atau aurat kita. Busana juga bermanfaat pula melindungi diri iklim maupun cuaca. Sehingga kebutuhan akan busana atau sandang menjadi suatu hal yang utama.

Tidak hanya sebagai penutup aurat semata. Busana ternyata telah menjadi suatu identitas diri manusia. Terlebih dalam suatu kelompok massa. Yang dengan demikian dapat membedakan antara ciri kelompok satu dengan lainnya. Apalagi jika mengingat beranekaragamnya ras manusia maupun budaya. Semakin menambah pula keragaman dalam segi pemakaian busana.

Khususnnya dalam konteks agama. Ternyata busana telah menjadi suatu identitas bersama. Yaitu dalam suatu komunitas massa penganut agama yang sama. Tidak hanya dalam ideologi yang sama, tetapi juga mereka menyeragamkan dalam aspek berbusana. Sehingga busana yang mereka kenakan menjadi bagian dari simbol agama. Dan menumbuhkan pencitraan terhadap mereka dengan busananya dalam benak penganut agama lainnya.

Relevansi tragedi peledakkan bom dengan busana suatu pemeluk agama

Tragedi atau teror berupa peledakkan bom seakan menjadi momok bagi kita semua. Terutama bagi mereka para korban yang dirundung duka hingga trauma. Ketraumaan itu berbekas hingga saat ini dan tak mudah hilang begitu saja. Apalagi jika telah tertanam dendam dalam diri mereka. Maka menjadi semakin sulit hilang apalagi hingga terlupa.

Ditambah jika mengingat para pelaku peledakkan bom yang telah membawa sengsara. Tidak hanya ketraumaan, tetapi juga dendam pun akan terus menyelimuti mereka. Sehingga menumbuhkan stigma negatif terhadap suatu agama. Yang di”dakwa” mengajarkan ajaran kekerasan seperti teror dan lainnya.

Tidak hanya stigma negative terhadap ajaran agama saja. Namun juga kepada para penganutnya sebagai pelaku dan aktor utama. Imbasnya mereka, khususnya para korban, selalu diliputi ketraumaan tiap kali berjumpa dengan suatu pemeluka agama. Yang diduga mereka sebagai teman dari pelaku teror, lantaran busananya.

Sintesa dari ketraumaan hingga berbuah stigma

Disinilah titik temu dari permasalahan yang ada. Berawal dari ketraumaan yang diderita, kemudian menanamkan sebuah stigma. Yaitu pandangan terhadap suatu kelompok massa yang berlatar ideology yang sama. Yang diidentikan dalam cara berbusana. Sehingga mengerucut pada stereotip negatif dalam citra. Dan menimbulkan ketakutan dan sikap paranoid di benak para warga. Padahal busana tidaklah sepenuhnya mencerminkan karakter seseorang ataupun kelompok massa. Bahkan dapat menipu mereka yang telah berpandangan negatif dalam praduga.

Walau busana telah menjadi suatu identitas, namun kita harusnya dapat memilah dan membedakan sesuatu prasangka. Karena penampilan kadang tak seperti adanya. Seperti orang bijak mengatakan; Jangan melihat buku dari sampulnya. Agar kita tak terjerembab pada ketakutan dan keparanoidan semata. Sehingga kita tidak menutup diri dan dapat saling terbuka. Dan kecurigaan pun tak selalu membayangi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(sampahfly31/21/04/2010)

2 komentar:

  1. crenz, cara pandang fly tidak menyudutkan 1 pihak, ga me- jugde dan ga nyebela juga,,
    tp kalo w, orang awam yang baca ga terlalu paham di awal tp di tengah dan akhir baru terduga bahwa "stigma dalm balutan busana" itu adalah kaum islam ya ? ? ?

    BalasHapus
  2. sama.
    gw jg ga paham betul maksud bung fly?..
    bung tlng jelasin!!

    BalasHapus