Minggu, 22 Agustus 2010

Mewaspadai ideologi "ekstrimis" keagamaan

Terorisme yang kerap diperbincangkan dalam berbagai kesempatan, tampaknya masih menjadi suatu headline news yang terdepan. Dalam kurun waktu satu dekade belakangan ini, baik di Indonesia maupun dunia, topic yang sangat menarik perhatian, salah satunya adalah aksi teror yang diidentikkan dengan pengeboman, penghancuran, ataupun pembunuhan.

Dalam kacamata humanisme, aksi teror sangat melanggar norma kemanusiaan. Karena melakukan suatu tindakan sosial, menurut seorang Max Weber, yang langsung berpengaruh buruk terhadap manusia dan kehidupan. Seperti tragedi pengeboman di Bali maupun di Jakarta yang mengakibatkan jatuhnya ratusan korban.

Dalam perspektif keagamaan, yang pada dasarnya bersinergitas dengan nilai kemanusiaan, aksi teror tentu tak dapat dibenarkan. Beragam keyakinan dalam berbagai agama pun jelas mengajarkan kepada pengikutnya untuk menabur benih rasa cinta kasih antar sesama dan bukan menebar rasa ketakutan ataupun kebencian.

Nilai keagamaan sering dijadikan landasan

Permasalahan yang sering dijumpai adalah bahwa dalam melakukan aksi terornya seorang “teroris”, dalam pandangan si korban, atau seorang “pejuang”, menurut para pelakunya, dilatari atas protokol keagamaan. Mind set demikian yang sangat memprihatinkan. Karena memahami suatu nilai keagamaan menurut ortodoksi kebenaran. Dimana pemahaman seperti ini yang mereka miliki dianggap telah berlisensi kebenaran. Sehingga menafikan “kebenaran” lain yang diyakini pula oleh para korban.

Menurut seorang Imam, orang yang dinisbatkan sebagai pemimpin oleh pengikutnya, yang bernama Al-Syafi’i, kebenaran yang ia yakini belum tentu benar menurut lainnya, dan berlaku kebalikan. Baginya kebenaran mengandung unsur subjektivitas perorangan. Namun ada satu kebenaran mutlak yang hanya dimiliki oleh sang pemilik otoritas kebenaran.

Jika meninjau antro-sosiokultural Indonesia, mayoritas pemeluk agama Islam merupakan seorang Syafi’iyah secara individual, ataupun bermazhab Syafi’i secara golongan. Seyogyanya jika seorang teroris atau pejuang memang bermazhab demikian, maka hal destruktif tersebut dapat dihindarkan. Namun yang lebih banyak dijumpai saat ini adalah tidak adanya kesadaran dan pengenalan yang dimiliki mereka akan latar belakang keagamaan.

Rasa kebencian personal melatari aksi “perjuangan”

Rasa kebencian yang dirasa, akhirnya tak tertahankan dan melahirkan suatu aksi perjuangan. Motif tersebut yang tampak dominan terlihat dari berbagai aksi perjuangan seperti pengeboman. Tidak hanya yang terjadi di negeri ini, tetapi juga di negeri lain yang masih memperjuangkan terciptanya perdamaian.

Bahkan sebenarnya aksi perjuangan di negeri yang tengah perang, justru jauh lebih relevan dilakukan. Dibandingkan dengan aksi perjuangan berupa pengeboman di negeri yang indah nan damai dalam keadaan. Pemahaman seperti itu yang pada tempo lalu sempat terlontar dari seorang mantan Amir Mujahiddin Indonesia dalam suatu forum pendidikan.

Aksi perjuangan dalam perbedaan keadaan

Rasa kebencian dalam diri orang yang terzhalimi melatari perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Seperti yang terlihat dari perjuangan rakyat Palestina yang sedang dirundung penderitaan. Dalam konteks keadaan tersebut, maka wajar dan relevan jika aksi perjuangan mereka dilakukan.

Namun dalam konteks Indonesia, aksi perjuangan yang dilakukan dapat saja dipertanyakan. Apakah aksi tersebut dilatari oleh ortodoksi keagamaan atau oleh perasaan akan kebencian? Jika dilatari oleh ortodoksi kegamaan, maka seyogyanya ada suatu pelurusan. Agar pemahaman keagamaan dapat selaras dengan nilai kemanusian.

Tetapi jika aksi tersebut dilatari oleh rasa kebencian. Maka dapat dipertanyakan kepada siapa rasa benci tersebut ditujukan. Mengingat yang sering menjadi korban adalah masyarakat biasa yang justru tak memiliki sentimen personal ataupun golongan. Sehingga kerap dijumpai korban dari berbagai aksi tersebut tidak tepat sasaran.

Mengenali diri dan menjalin persaudaraan

Untuk itu dalam rangka menghindari sikap ekstrimis dalam pemahaman keagamaan. Sudah seharusnya mari bersama melakukan suatu perenungan. Yaitu dengan berangkat dari pribadi dengan pemahaman yang arif, sehingga dapat menerima perbedaan. Seperti nilai diatas yang telah diajarkan oleh seorang pemimpin keagamaan.

Dengan mengenali diri, maka diharapkan tumbuhnya rasa rasa persaudaraan. Baik itu antara sesama pengikut suatu aliran keagaman maupun antar pemeluk yang berbeda keyakinan. Agar tercipta suatu perdamaian dan ketentraman yang diidamkan.

(sampahfly044/22/08/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar